JAKARTA — Hampir 100% pemegang konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang sebagian lahannya masuk kategori fungsi lindung ekosistem gambut telah menyelesaikan revisi rencana kerja usaha.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyebutkan hanya 10% dari pemegang konsesi HTI itu yang masih harus membenahi aspek administratif dari revisi RKU-nya.
“[Ada] 10% [dari pemegang HTI] memang ada 7 [atau] 8 yang memang dia lagi dalam proses evaluasi perizinan. Jadi, kita katakan memang belum layak diberikan sebuah RKU [baru],” katanya, Rabu (11/7).
Bambang menambahkan, keberadaan RKU yang telah direvisi ini, selain untuk memenuhi aturan terkait pemanfaatan kawasan gambut, juga bisa mempermudah perusahaan mudah dalam mengontrol lahan gambut.
Pasalnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait pengelolaan lahan gambut seperti restorasi hidrologis serta pembuatan sekat kanal yang benar guna menghindari terjadinya kekeringan lahan gambut yang berpotensi berujung pada insiden kebakaran hutan.
“Dengan RKU itu ketahuan bagaimana nanti pemulihannya. Pemulihan di fungsi lindung, pemulihan di fungsi budi daya itu berbeda,” tambah Bambang. Seperti diketahui, pemerintah menyiapkan lahan sekitar 910.393 hektare di beberapa provinsi untuk mengganti lahan HTI yang 40% konsesinya di lahan gambut ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Lahan pengganti akan diberikan kepada HTI yang telah menyampaikan RKU kepada KLHK dan mendapat persetujuan dari kementerian itu. Lahan pengganti merupakan jalan keluar setelah penerbitan PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. SERTIFIKASI Sementara itu, korporasi berbasis produk kehutanan disarankan untuk melakukan sertifi kasi terutama terkait dengan isu ketertelusuran dan keberlanjutan.
Direktur Eksekutif Indonesian Forestry Certifi cation Cooperation (IFCC) Zulfandi Lubis menyebutkan di tengah besarnya kecurigaan pasar asing atas produk hasil hutan asal Indonesia terkait pemenuhan standar pengolahan hasil hutan yang baik, sertifi kasi menjadi sangat penting. “Selain karena sifatnya voluntary, perusahaan yang mau mensertifi kasi dirinya ini kan bisa kita asumsikan mereka ingin dan mau untuk memperbaiki diri,” katanya kepada Bisnis, Rabu (11/7).
Sertifi kasi ini menjadi salah satu alat pembukti yang bisa diterima oleh pasar luar negeri. Kendati demikian, tambahnya, saat ini, kemauan perusahaan pengolahan hasil hutan untuk mengajukan sertifi kasi dinilai masih minim. Kebanyakan perusahaan baru akan mengajukan sertifi kasi untuk produknya jika diminta oleh pasar atau perusahan yang akan menjadi konsumen. Menurut Zulfandi, hal ini bisa jadi salah satu alasan mengapa perusahaan engan melakukan sertifi kasi sebelum diminta oleh calon konsumen. Pasalnya, sertifikasi yang diajukan harus sesuai dengan petunjuk calon konsumen. (Juli E.R.Manalu)