Hutan Indonesia Hutan Indonesia

Hutan Indonesia
  • Home
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Kontak
  • Artikel
    • Berita
    • Opini
    • Siaran Pers
    • Presentasi
  • Galeri
    • Photo
    • Video
Don't Miss
  • Antisipasi Kebakaran Belum Optimal
  • Activists call for release of environmentalist Budi Pego
  • Jokowi saves forests, but ‘fails’ to resolve land, mining conflicts
  • Buka Revisi RKU Restorasi Gambut Ke Publik
  • Kebijakan Harus Berkelanjutan
  • AMAN shifts political stance amid ‘sluggish’ progress on indigenous peoples bill
  • RUU Masyarakat Adat Selamatkan Bangsa
You Are Here: Home » Artikel » Petani Kopi yang Memegang Tradisi Leluhur

Petani Kopi yang Memegang Tradisi Leluhur

Posted by :sukiman sukiman Posted date : May 12, 2018 In Artikel, Berita 0

kompas.id 12 Mei 2012

kompas. 12 mei 2018

Suku Rejang merupakan salah satu penduduk asli di Provinsi Bengkulu. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani kopi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2013, penduduk Provinsi Bengkulu sebanyak 3,5 juta jiwa. Bengkulu memiliki 10 kabupaten. Mayoritas suku Rejang tinggal di Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, dan Bengkulu Utara.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong Khairul Amin menuturkan, hampir seluruh penduduk suku Rejang bekerja sebagai petani. ”Pada umumnya mereka tinggal di wilayah perbukitan, tetapi ada juga yang tinggal di pinggir laut,” kata Amin saat ditemui di Bengkulu, Rabu (9/5/2018).

Meski demikian, sebagian besar penduduk Rejang yang tinggal di wilayah pesisir tetap bekerja sebagai petani. Namun, ada juga yang bekerja sebagai nelayan.

Mayoritas petani dari suku Rejang menanam kopi. Namun, ada juga yang menanam sayuran dan palawija. Mereka mengolah kopi secara tradisional, mulai dari menanam, memanen, menjemur, hingga menumbuk. Biji kopi hasil panenan tersebut dijual kepada toke atau pengepul dan tengkulak.

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong Khairul Amin

Salah satu warga kampung Pinggir Kuning, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Dosi Saputra (25), menuturkan, masyarakat terbiasa menjual hasil panen ke pengepul untuk melunasi utang yang digunakan sebagai biaya hidup sehari-hari. Selain itu, juga untuk membeli pupuk dan biaya pendidikan anak.

Mereka memanen kopi setahun sekali. Biji kopi tersebut dijual dengan harga Rp 18.000 per kilogram. Harga tersebut ditentukan oleh pengepul. Dalam setahun, Dosi mendapatkan uang sekitar Rp 8 juta.

Saya tidak memiliki lahan sendiri dan hanya mengerjakan perkebunan kopi milik orang tua.

Dosi menuturkan, bertani kopi merupakan pekerjaan turun-temurun bagi masyarakat adat Rejang. ”Saya tidak memiliki lahan sendiri dan hanya mengerjakan perkebunan kopi milik orangtua,” ujarnya.

Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, Dosi bekerja serabutan, seperti merumput. Ia berharap pemerintah mau membantu kehidupan masyarakat adat Rejang yang bergantung pada hasil kopi. ”Semoga pemerintah menaikkan harga kopi dan menurunkan bahan makanan pokok,” tutur Dosi.

Sejarah
Berdasarkan catatan sejarah, suku Rejang berasal dari empat petulai atau kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem satu pihak dengan garis keturunan patrilineal dengan cara perkawinan eksogami. Setiap petulaidipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut ajai.

Empat ajai yang pernah memimpin suku Rejang, yaitu Ajai Bitang yang memimpin di daerah Pelabai dan Ajai Begelam Mato yang memimpin daerah Kutei Bolek Tebo. Ajai Siang memimpin daerah Siang Lakat dan Ajai Tiei Keteko memimpin daerah Bandar Agung.

Pada masa keempat ajai tersebut, datang empat biksu dari Kerajaan Majapahit ke Renah Sekelawi. Keempat biksu tersebut, yaitu Sepanjang Jiwo, Bembo, Bejenggo, dan Bermano. Mereka diterima baik oleh para ajai dan masyarakat karena kearifan serta memiliki kesaktian.

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Sebuah batu panjang yang diyakini masyarakat adat Rejang sebagai peninggalan biksu Bejenggo di Desa Seguring, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Batu tersebut digunakan oleh masyarakat sekitar untuk menyampaikan permohonan yang diinginkan.

Atas persetujuan dari rakyat, keempat biksu tersebut menggantikan para ajai menjadi pemimpin. Setiap biksu diberikan nama petulai yang diwariskan turun temurun secara patrilineal. Biksu sepanjang jiwo diberi nama Tubei, Bembo menjadi Jurukalang, Bejenggo menjadi Selupuei, dan Bermano menjadi Bermani.

Pada zaman empat biksu tersebut, masyarakat diatur dalam hukum yang mengatur kehidupan manusia, termasuk lingkungan. Mereka menjadi masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutei yang penguasanya disebut Ketuei Kutei.

Kutei mengalami pasang surut, bahkan terpinggirkan karena masuknya sistem marga pada 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda J Walland yang dipindahkan dari Palembang. Ia memberlakukan Undang-undang Simbur Cahaya.

Tradisi
Masyarakat adat Rejang masih memegang teguh tradisi leluhur. Mereka mengadakan upacara adat Pedurai dan sekapur sirih untuk menghormati tamu dari luar daerah atau orang yang memiliki derajat tinggi.

Mereka menggunakan sesaji hasil bumi seperti kopi, daun sirih, buah pinang, nasi kuning, daging ayam, dan air putih. Mereka membakar wewangian sambil mengucapkan doa. Upacara adat Pedurai juga digunakan untuk memanjatkan doa kepada leluhur agar tanah mereka tetap terjaga dan terhindar dari permasalahan.

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Masyarakat adat Rejang melakukan upacara Sekapur Sirih untuk menyambut tamu yang datang dari luar daerah di Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Selasa (8/5/2018).

Upacara adat lain yang masih dilestarikan, yaitu tarian Kejei. Tarian ini merupakan hajatan terbesar suku Rejang untuk menerima tamu kehormatan dan pernikahan antar suiku. Sebagai iringan musik, mereka menggunakan alat musik yang terbuat dari bambu.

Untuk adat perkawinan, masyarakat Rejang mengadakan upacara Semendo. Tradisi tersebut dilakukan pada malam setelah mengantar kedua mempelai. Lembaga adat, Kutei, Badan Musyawarah Adat (BMA) berkumpul untuk membicarakan posisi dari kedua mempelai.

Khairul mengatakan, Semendo terbagi menjadi Semendo Biasa, Semendo Rajo-Rajo, dan Semendo Bleket. ”Lokasi tempat tinggal kedua mempelai ditentukan, mau di sebelah istri atau suami,” tuturnya.

Adapun pada Semendo Rajo-Rajo, kedua mempelai bebas menentukan tempat tinggalnya di mana saja. Pada Semendo Bleket, seorang perempuan harus mengikuti suami bertempat tinggal dan tidak dapat pindah atau tinggal bersama orangtuanya.

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Rumah khas adat Rejang di Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Selasa (8/5/2018). Rumah tersebut menggunakan bahan baku papan kayu yang tebal dan tiang yang tinggi untuk menghindari musuh serta binatang buas.

Selain upacara adat, masyarakat adat Rejang juga masih memegang aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur. Kepala Desa Seguring, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu Jumadi Irawan menuturkan, masyarakat adat Rejang meyakini apabila ada bagian tubuh yang terluka, berarti orang tersebut telah melakukan kesalahan. Mereka menyebutnya dengan nama Cempalo.

Sebagai contoh, Cempalo tangan berarti ada luka di tangan orang tersebut. Luka tersebut menunjukkan, orang tersebut telah berbuat jahat, seperti mencuri atau memukuli seseorang. Untuk menghapuskan kesalahan tersbut, Kutei akan bermusyawarah untuk menentukan hukuman yang pantas.

Ketua BMA Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, N Adensyah menuturkan, hukuman terberat bagi orang yang melakukan kesalahan yaitu potong kambing. Selanjutnya, kambing tersebut dimakan bersama-sama.

Tags
tweet
UN Permanent Forum spotlights Indigenous Peoples’ contributions to global goals
Tourism nearly a tenth of global CO2 emissions

About sukiman sukiman

Related posts

  • Antisipasi Kebakaran Belum Optimal

    Antisipasi Kebakaran Belum Optimal

    February 19, 2019

  • Activists call for release of environmentalist Budi ...

    February 15, 2019

  • Jokowi saves forests, but ‘fails’ to resolve ...

    February 14, 2019

  • Buka Revisi RKU Restorasi Gambut Ke Publik

    Buka Revisi RKU Restorasi Gambut Ke Publik

    February 14, 2019

Upcoming Event

Campaign

"Komitmen Atasi Perubahan Iklim" LIVE on Metro TV-8-11 | 20150915 | 09.30 am

Tweets Hutan Indonesia

Twitter Tweets
Twitter Tweets Powered By Weblizar
  • rss
© Copyright 2015, All Rights Reserved. | Powered by Hutanindonesia