
Republika | 20 Mei 2016
Peliknya masalah tanah ulayat di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat diperlukan solusi segera. Beberapa solusi untuk memecahkan masalah tersebut, seperti peraturan daerah (perda) pengakuan dan peraturan dan perlindungan masyarakat adat. Pemda dan DPRD Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, kemudian melakukan uji publik rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Sumbawa, di Kota Sumbawa Besar, Rabu (27/4).
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Sumbawa dan Fraksi Demokrat Syamsul Fikri mengaku, pihaknya beserta semua staf ahli dan seluruh anggota Komisi I menginisiasi uji publik ini. “Tujuannya kami ingin tahu seberapa besar antusias terhadap raperda ini,” ujarnya saat ditemui wartawan di sela-sela uji publik.
Terkait kepemilikan lahan masyarakat adat, diakuinya secara sosiologi ada pranata sosial, sosial integrasi, yang eksistensinya turun-temurun. Selain itu, banyak pengakuan kepemilikan lahan yang dilakukan perusahaan, sehingga uji publik dinilai pihaknya menjadi poin.
Dia menambahkan, adanya korelasi masyarakat adat dengan raperda ini merupakan amanat yang diatur dalam UUD 45 Pasal 8 huruf A, UU Nomor 6 Tahun 2014, UU Desa, UU Agraria, hingga UU Kehutanan. Namun, kata dia, masyarakat adat baru bisa diakui dalam konstitusi bila ada peraturan daerah (perda), yang isinya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan diakuinya masyarakat adat dalam perda, diakui juga hak atas kepemilikan wilayahnya. “Efeknya banyak. Pengejawantahan ini yang jadi inspirasi Komisi I,” ujar Syamsul. Di satu sisi, ia juga sepakat jangan sampai ada satu perusahaan yang masuk ke Sumbawa, padahal pulau ini memiliki tambang emas terbesar di Asia Tenggara hingga tambang emas dan tembaga yang dikelola perusahaan asing. “Jangan sampai ada konflik agraria. Karena ada perusahaan-perusahaan masuk ke Sumbawa, kemudian mengklaim lahan milik masyarakat adat,” kata Syamsul.
Dia menekankan bahwa raperda ini bersifat penting. Untuk itu, raperda ini diuji kepada publik sebagai langkah awal. Kemudian nanti ada pembahasan lagi di komisi, dan dibuatlah draf raperda. Setelah itu, baru ada pandangan komisi, dan langkah akhir pendapat final masing-masing fraksi. Pihaknya menargetkan rancangan perda segera masuk program legislasi daerah (prolegda), kemudian disahkan menjadi perda. “Kami menargetkan tahun ini,” kata Syamsul.
Ia optimistis langkah raperda ini tidak ada hambatan, hanya tinggal kemauan politik partai. Ia optimistis keberpihakan anggota fraksinya untuk mendukung perda ini solid. Ketika disinggung mengenai ancaman penolakan raperda dan partai lain, ia menambahkan itu adalah kewenangan politik. Namun, ia menekankan jangan sampai ada penyelundupan pasal. Setelah raperda ini disahkan, kata dia, sosialisasi kepada masyarakat dilakukan aparatur pemerintah.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan, upaya pengembalian hutan adat yang bermasalah adalah dengan adanya perda yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya juga telah mengakui keberadaan masyarakat adat dengan adanya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. Jadi, kata dia, setiap kabupaten kalau ingin cepat melaksanakan amanat itu, satu-satunya cara harus membuat perda.
Ia menambahkan, perda ini sesungguhnya sangat penting jika ingin ada percepatan pembangunan, baik itu dalam hal infrastruktur maupun izin. Jika Presiden Joko Widodo menginginkan ada percepatan investasi, tetapi tidak menarnbah persamaan hak masyarakat adat, kata dia, otomatis akan terjadi konflik. Ia juga menyebutkan, jika moratorium usaha terus dilakukan seperti perkebunan kelapa sawit, pihaknya khawatir investasi tidak masuk ke Sumbawa.
Ia menarnbahkan, perda ini juga sekaligus sebagai satu upaya pemerintah melakukan pernberdayaan masyarakat adat. Meski demikian, ia mengakui, untuk melaksanakan hal ini terdapat tantangan di antaranya melaksanakan identifikasi hingga pemetaan wilayah.
“Ketika perda ini disahkan, tantangan selanjutnya yang harus dipecahkan adalah bagaimana alokasi anggarannya,” kata Abdon.
Kepala Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN Muhammad Arman mengatakan, perda hybrid bisa menjadi solusi dalam konflik sengketa lahan masyarakat adat. Ia menjelaskan, perda hibrid sebenarnya hanya berupa metode dan bentuk. “Kami mendorong perda yang intinya mengakui dan memberikan perlindungan masyarakat adat, yaitu hibrid,” ujar Arman.
Disebut perda hibrid karena memadukan sejumlah perda sehingga menjadi perda yang sempurna. Menurut Arman, ada beberapa jenis perda. Pertama, perda pengaturan yang semacam menjadi perda yang menjadi payung mengakui masyarakat adat. Meski dalam perda kategori ini, pemda tidak menyebut siapa saja yang menjadi masyarakat adat. Kedua, perda penetapan, yaitu mengenai penetapan kompensasi tertentu. Ketiga, perda hibrid dan pihaknya mendorong perda hibrid yang isinya penetapan dan pengaturan sekaligus.
Dari beberapa perda ini, regulasi daerah hibrid yang coba pihaknya dorong. “Karena kita mau agar perda ini bisa langsung dijalankan,” ujar Arman.
Saat ini, pihaknya menginisiasi perda hibrid di Kabupaten Sumbawa, NTB. Jika disahkan, kata dia, perda hibrid menjadi yang kedua berlaku setelah di Lebak, Banten.
AMAN terus mendorong berbagai daerah membuat perda hibrid, karena jika hanya berupa perda pengaturan, ini akan memakan waktu lama dan harus menunggu lagi keputusan bupati. Padahal, fase ini memasuki proses politik yang sarat menarik kepentingan. Sementara itu, konflik antara masyarakat adat dan negara atau masyarakat dan korporasi terus terjadi dan bisa memanas. Menurut dia, perda tersebut melindungi masyarakat adat dan gesekan konflik tersebut.
Namun, selama perda ini belum dilaksanakan, ia meminta minta ke aparat kepolisian setempat tidak melakukan tindakan represi ke masyarakat adat. Ia meminta adanya proses yang baik dan sesuai koridor hukum. “Kami sudah surati Markas Besar Kepolisian Negara Republk Indonesia (Mabes Polri) meminta aparat negara menghargai yang ada di masyarakat adat,” katanya.
Oleh RR Laeny Sulistyawati
ed: priyantono oemar
April 23, 2018
April 19, 2018
April 18, 2018
April 18, 2018